Rabu, 18 Maret 2009

Remaja adalah Kita waktu nanti

Minggu 8 Maret dan Senin 9 Maret 2009, remaja Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Simalingkar menjadi semacam adrenalin yang dapat memacu tekanan darah dalam tubuh saya, dengan adanya kebaktian lapangan, malam keakraban, siap dibentuk Allah, perubahan diri yang lebih baik dan banyak sekali kenangan yang terekam dalam 2 hari itu..dan akan dijadikan adrenalin bagi kehidupan keluarga jemaat GKPS Simalingkar. Tahun keluarga yang dicanangkan Pinpinan Pusat GKPS untuk tahun 2009 ini menjadi titik masuk menjadikan remaja sebagai kekuatan keluarga saat ini dan yang akan datang. Tiga puluh orang remaja hadir, 7 orang guru sekolah minggu, Wakil pengantar jemaat (Pimpinan harian gereja ) ketua seksi sekolah minggu, 6 fasilitator termasuk penulis, Bapak Solin Sekeluarga dan beberapa orang tua ikut mendampingi, membuat remaja merasa aman meninggalkan rumah menuju tepian hulu Danau Toba, Tiga Ras yang menempuh perjalanan sekitar 5 Jam. Persiapan sudah dilakukan, termasuk persiapan untuk fasilitator, sosialisasi kepada orangtua, kelengkapan yang harus dibawa, termasuk sosialisasi waktu kebaktian minggu....bersambung

Pendidikan tiga puluh remaja itu mulai SMP - SMA, dan sudah mencakup hampir semua remaja dari keluarga GKPS Simalingkar. Mereka sangat beruntung mendapat kesempatan seperti ini, karena malam hari nya mereka bisa merasakan betapa kita perlu tekun untuk hal-hal yang disukai Allah, seperti berpuasa perasaan. Karena yang keluar dari mulut berasal dari hati / perasaan, maka puasa pada acara ini adalah puasa bicara. Seluruh peserta harus menjaga bicaranya, sehingga tidak ada keluar ucapan yang tidak disukai Tuhan...bersambung...

Ini mimpi saya

Menjadi seperti sekarang seperti mimpi saja, lahir di desa Sarangpunei, kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Besar dalam keluarga petani kecil dengan 6 saudara. Masa kecil dilewati dengan kehidupan didesa yang yang bukan seperti desa sekarang ini. Listrik di desa saya baru ada setelah saya berumur 27 tahun, sedangkan air baru ada pada saat tulisan ini mulai dibuat (umur 40 tahun). Masa balita hampir seluruhnya bersama oppung dan tua ( sebutan untuk orang tua laki-laki dan perempuan dari bapak ). Oppung saya Djaukur Saragih senantiasa ada untuk saya mulai bangun hingga tidur. Sepertinya hanya waktu tidur saya dirumah orangtua yang kebetulan bersebelahan dengan rumah oppung saya yang masih rumah panggung beratap ijuk. Pagi-pagi sebelum oppung bangun, saya sudah menunggu ditangga rumahnya atau dibawah jendela untuk bersama-sama dengannya ke kedai kopi milik oppung Jami Sinaga. Biasanya menu rutinnya adalah tehmanis, pulut dengan kelapa, goreng pisang atau kombinasinya. Setelah dari kedai, pergi kesawah bersama Tua. Disawah bersama oppung dan tua sepanjang hari adalah pelajaran besar. Memasak nasi yang malamnya padinya ditumbuk dilumpang kayu oleh tua, amboru (saudara perempuan ayah) paling bungsu, yang kami panggil Po Sinta (bou Sinta), tentu dengan saya ada disitu. Nasi dimasak dibawah gubuk panggung, yang warnanya kemerahan bila kebetulan beras merah, wanginya sangat khas. Bau nasi dari padi yang beberapa bulan waktu sebelumnya padinya masih tumbuh disawah dan tanah miring ditas sawah yang sekarang kami ada disitu. Lauk-pauk tentu lengkap setiap hari; bahan sayur lengkap disekeliling sawah, bumbunya lengkap diseliling gubuk, ikannya asli dari kolam; kadang lele, gabus, sepat, atau ikan-ikan kecil,yang semuanya dimasak rebus. Kadang dengan santan, tapi yang pasti selalu menggunakan kunyit yang agak banyak. Ikan yang kami makan biasanya hasil pancing yang dipasang sore hari sebelum kami meninggalkan sawah. Memeriksa berapa pancing pada pagi harinya adalah kegemaran saya, kadang bila ikannya agak besar atau terbelit keranting kayu, saya minta tolong oppung atau tulang (anak laki-laki dari saudara laki-lakinya tua ) namanya Kaliamsah Sinaga, yang kadang ikut juga kesawah (bolos sekolah). Hampir setiap pagi saya mendapat ikan dari pancing-pancing itu, bila kebetulan tidak ada ikan, maka tua menggunakan jaring yang kami sebut namanya durung untuk menangkap ikan-ikan kecil (silo-silo) dan juga kecebong atau siput sawah sebagai lauk ikan siang hari. Apapun ikannya, dengan bumbu yang diracik oleh tua, rasanya tetap luar biasa. Biasanya saya tidur setelah capek memeriksa pancing, memasang umpan yang biasanya cacing atau belalang, bermain sebentar diair sawah yang agak dalam. Bangun tidur bersamaan dengan masaknya semua menu makan siang: nasi yang tadi malam masih berwujud padi, sayur yang pagi tadi masih dipokoknya, bumbu yang tadi pagi masih tertanam disekitar gubuk, dan ikan yang baru tadi pagi kami ambil dari kolam atau parit disekitar sawah. Semuanya sudah tersaji dalam piring dan mangkuk yang terpisah untuk saya dan tua juga tulang kalau ia ada. Satu paket makan siang dipisahkan untuk Oppung, karena biasanya saya makan lebih awal dengan Tua, mungkin karena Tua tahu saya tidak boleh terlambat makan. Jadi jam makan saya hampir sama setiap hari, walaupun Tua dan saya tidak punya jam. Oppung sering sekali makan belakangan karena sedang diladang, disawah atau sedang di hutan belantara disekitar persawahan untuk mengambil kayubakar atau tali. Setelah makan siang, saya bermain sebentar dikolong pondok, atau diparit-parit yang airnya mengalir dari bukit-bukit, lalu tidur siang diatas pondok. Tua baru turun kesawah atau ladang bila saya suidah tertidur. Tidur diatas pondok disekeliling sawah, ladang, hutan yang masih sangat lebat, dengan kicauan burung, serangga hutan, kadang siamang, disempurnakan dengan suara gesekan daun dan ranting akibat hembusan angin, benar-benar sebuah symponi yang dashyat, karena ditata sempurna oleh Allah pencipta. Mengenang itu semua seperti sebuah mimpi yang entah dimana sekarang ini ditemukan dalam bentuk nyata. Bangun dari tidur siang, badan sangat segar, saya langsung turun kesawah yang mirip kolam ikan dan memang didalamnya banyak ikan, dan ikan itu sendiri benar-benar datang dari Allah, karena Oppung dan Tua tak pernah menyemai bibitnya. Saya memeriksa pancing yang tadi pagi dipasang cacing atau belalang dan kadang ulat untuk umpannnya. Bila tali pancingnya tegang, jantung jadi deg - degan penuh tanda tanya ikan apa gerangan, sebesar apa..dan sering kali talinya sudah terlilit diranting pohon atau batang padi, dan ini butuh bantuan Oppung atau tulang bila sedang ada. Yang paling sering terkena pancing adalah ikan lele dan gabus. Ikan gabus ukurannya bisa sangat besar, sebesar betis orang dewasa. Ikan ini cukup kuat, bisa bergerak cepat diatas lumpur seperti mobil F1 diarena balap. Bila ada ikan yang dapat, dibawa kekampung sebagai menu makan malam di rumah orangtua saya, karena pada malam saya hampir selalu tidur dirumah orangtua, sesekali dirumah oppung. Setelah makan malam, akan terdengar bunyi lumpang dan alu, karena tua dan bou paling bungsu (Sinta ) menumbuk padi untuk dimasak pada esok hari. Saya akan berjongkok disamping lumpang dan tidak tahu apa gunanya saya ada disitu, dan itu berlangsung hampir setiap malam. Suatu waktu pada saat menumbuk padi pada malam hari, kami mendengar ada suara gendang yang berasal dari sekitar kebun cengkeh tepat didepan rumah kami sekarang. Memang disitu dulu ada satu batang cengkeh yang sangat besar, lebih besar dari batang pohon cengkeh yang lain. Anehnya pada saat padi ditumbuk lebih cepat, suara itu semakin kuat, dan pada saat menumbuk padanya lebih lambat suara gendang itu juga semakin pelan dan suara itu juga hilang bila menumbuk padinya dihentikan. Waktu itu tidak ada pikiran lain selain ada mahluk halus yang berpesta disekitaran kebun cengekh itu, dan mereka terganggu karena masih ada yang ribut menjelang tengah malam dengan menumbuk padi. Kepolosan Tua waktu itu langsung saja menghentikan menumbuk padai di halaman samping belakang rumahnya itu dan pindah ke atas rumah panggung untuk membersihakan beras padi yang sudah selesai ditumbuk. Hal ini hanya terjadi satu kali karena selanjutnya kami tidak pernah lagi menumbuk pada pada malam hari. Demikianlah kebutuhan beras dipenuhi, dengan mengambil padi dari lumbung yang tidak pernah kosong dari tahun ke tahun, memisahkan padinya dari tangkainya (disebut mardogei ; memijak-mijak tangkai padi sampai bulirnya terelepas, menjemurnya dan menumbuknya hingga kulitnya terlepas. Proses menumbuk itu sendiri menghasilkan beras yang utuh dan beras yang patah-patah, bahkan ada yang menjadi butiran kecil yang disebut 'suyu'. Suyu ini mejadi menu sarapan dicampur dengan ubi kayu muda dan kelapa. Rasanya sangat lezat, apalagi dimakan pada waktu hangat. Sebenarnya menambah ubi dan kelapa kedalam suyu itu adalah untuk menambah jumlah, supaya cukup untuk dibagi. Tapi ternyata disamping itu, karbohidrat yang banyak menyebabkan orang yang mengkonsumsinya mempunyai banyak energi utnuk bekerja diladang. Nasi dari beras tumbuk itu sangatlah lezat rasanya, disamping harum dan lembut, terlebih lagi tempa nasinya adalah bakul yang dianyam sendiri oleh tua, dengan bahan baku 'boyon' yang banyak tumbuh dirawa-rawa disekita sawah. Nasi yang dimasukkan kedalam bakul ini menghasilkan harum yang alami, dan menambah selera makan. Padi itu ditanam pada tanah miring di perladangan 'paritokan' yang ditempuh sekitar 1 jam berjalan kaki dari trumah tua, melewati jalan tanah curam bertangga. Dan dibawah tanah miring itu adalah sawah yang didalamnya juga sekaligus banyak ikan besar seperti gabus dan lele; ikan kecil seperti sepat dan sili-silo (semacam ikan paret yang senang bergerombol) dan juga boyok/kecebong serta siput. Pada saat tidak mendapat ikan, menu yang paling mudah didapat adalah kecebong dan siput. Kedua menu ini dengan menggunakan bumbu disekitar gubuk (yang pasti banyak kunyitnya) lezatnya bukan main. Kalau kecebong yang dimasak, maka kecebongnya akan meyatu dengan bumbunya, tapi masih terasa semacam rasa ikannya. Tetapi kalau siput yang dimasak, ada bagian kenyal dan lembut pada setiap siputnya. Mungkin ini yang membuat seolah-olah aku merasa cukup gizi pada waktu itu, sementara kehidupan ekonomi begitu sulitnya. Demikianlah hidup berlalu, setiap hari peuh dengan kenyamanan; ada makan pagi dengan pulut atau goreng di kedai atau suyu dan ubi muda plus kelapa dirumah panggung Oppung, lalu kesawah untuk melihat pancing yang sore kemarin sudah dipasang umpannya tentu sambil bermain air, tidur siang sebelum masakan tua siap untuk makan siang, dan pulang lagi kekampung untuk tidur bersama orangtua. Dan waktu yang yang tak terlupakan itu tiba; kami beberapa cucu Tua (tidak ingat berapa orang) sedang makan pagi dengan posisi melingkar didapur rumah panggung, dengan bou Sinta pada pesta pernikahan 'Po Senda' pada hari itu. Kami semua anak-anak dan Tua makan dengan lahap, dan Po Sinta melayani kami semuanya. Tua meminta kuah kepada Po Sinta dan diberikan, dan pada saat menyuapkan nasi (memang tua terbiasa memasukkan nasi kemulutnya dengan setengah melempar) Tua tersedak dan tidak ada pertolongan berarti, sampai ia menghembuskan nafasnya tidak berapa lama. Gendang pengantin yang waktu itu sudah mulai bunyi dengan sound sitem TOA, langsung berhenti sementara, sedangkan acara pesta pernikahan dipindahkan kerumah keluarga 'Kela Salem Damanik /Kela Senda. Lalu gendang dirumah Oppung tetap saja dipalu, tetapi dengan irama duka "khas nya untuk yang meninggal". Tidak ada terasa apa-apa dalam acara-demi acara itu, kami anak-anak balita hanya bingung dengan banyaknya orang datang, bahkan saya merasa kagum dengan mereka yang mempersiapkan peti untuk Tua. Mereka mengetam papan sampai halus, lalu dibuat peti berlapis kain hitam dan benah putih sebagai ornamennya. Pada saat penguburan, saya berjalan dibarisan tengah orang ramai itu, sayang sekali saya tidak bisa melihat bagaimana peti itu diturunkan dan ditimbun untuk selamanya. Beberapa hari setelahnya baru tereasa benar bahwa Tua sudah tidak ada. Itu berarti akan banyak hal yang hilang dan ternyata benar-benar hilang. Acara menumbuk padai sudah tidak kuikuti lagi, acara kesawah sudah tidak rutin, tidak ada lagi memasak nasi dan ikan disawah, tidak ada lagi yang membanguniku untuk makan siang dan menyantap masakan yang kunyitnya banyak itu. Tak berapa lama, oppung pun muai sakit-sakitan, dan makannya pun berpindah-pindah; kadang dirumah kami, kadang dirumah "Gian Boksen". Sepanjang malam Oppung selalu batuk, hingga pagi harinya dibawah jendelanya penuh dengan dahak. Memang Oppung adalah perokok 'daun dan tembakau asli" dan sering memakan abunya. Kami juga anak-anak sering mencobanya, rasanya nggak jelas, tapi memang agak-agak gurih. Mungkin itu yang membuat Oppung ketagihan memakan abu rokok daunnya. Dan seperti biasanya setiap pagi aku setia menunggunya dibawah tangga rumah panggungnya untuk sarapan ke kedai. Oppung ini sendiri adalah orang luar biasa, sepanjang yang kutau tidak orang yang tidak suka sama Oppung ini, paling tidak, tidak ada musuhnya. Hingga pada akhir hayatnya pada usia 80 tahun, dan waktu itu saya SMA kelas 1 di SMA PAhlawan TebingTinggi (45 km dari kampung). Hanya kenangan manis yang ditinggalkan Oppung demikian juga Tua. Pada acara penguburan Oppung ini, hatiku sedih sekali, bukankah selalu ada sukacita pada saat liburan dan ada yang selalu memberi uang tatkala akan kembali ke TebingTinggi. Dan sepeninggal Oppung ini, tak berapa lama, harta warisan dibagi kepada anak-anaknya. Waktu itu Oppung Jamil Sinaga ( Tondong) dari Negeri Dolok memberikan nasehat kepada anak-anak Oppung, terutama kepada Bapak dan Gian Boksen. Oppung itu berkata : "walaupun banyak buah durian itu nanti, kami tidak akan minta, tapi kalau ingin kalian kami cicipi rasanya, ya terima kasih / agepe bahat holi buah ni durian ai, lang ipindo hanami, tapi anggo sihol nasiam idai hanmi, tarimakasih". Memang Oppung sangat bijaksana, mungkin karena pensiunan kepala sekolah. Ternyata sekarang apa yang diucapkannya dulu masih relevan, bahwa harta warisan haruslah menjadi perekat persaudaraaan yang secara alami semakin renggang dengan bertambahnya anggota keluarga. Dan harta warisan ini ternyata tidak boleh dianggap hak milik, dan sudah seharusnya bila hasilnya selalu diberi kepada Tulang (saudara laki-laki ibu) untuk sekedar mengingatkan kita bahwa harta itu adalah harta orang tua kita dan Tulang sebagai saksi dalam pembagian waktu itu. Kalau Oppung dan Tua hidup sekarang, betapa senangnya dia mendengar cerita-cerita perjalan hidupku, dalam suka dan duka. Ingat 'paritokan' tempat ku ditempa dan sekarang tulisan ini diselesaikan di Timor Leste, pada saat menjadi konsultan di UNICEF; betul-betul seperti mimpi. Dan entah bagaimana caranya menunjukkan 'paritokan kepada anak-anak ku Fika, Cici dan Ganesta, kita lihat nanti.