Blog ini bersumber dari pikiran-pikiran yang muncul seketika, tatkala bekerja, traveling bahkan sedang ibadah. Segala tulisan ini mempunyai makna dalam perjalanan kehidupan sehari-hari, dan tentu saja tidak harus berlaku umum.
Selasa, 01 Desember 2009
Mempersiapkan generasi yang lebih baik
Jumat, 30 Oktober 2009
Manusia Setengah Malaikat ala Perawat dan Bidan (Dalam Pelayanan Imunisasi)
Hampir semua manusia berharap hidup menyenangkan; kerja enak, duit banyak, keluarga yang menyenangkan, fasilitas hidup lengkap, kehidupan social yang nyaman. Seperti kata orang-orang bercanda “kecil dimanja-manja, besar kaya-raya, mati masuk surga”. Namun kenyataannya tidak demikian, yang terjadi sering sebaliknya. Kejadian yang sebaliknya ini dialami hamper seluruh perawat dan atau bidan yang memberikan pelayanan imunisasi pada bayi.
Generasi saat ini pada umumnya tidak menyukai pekerjaan sosial profesional, namun lebih menyukai yang Hi-tech, bekerja diruangan yang megah, wangi, baju yang necis, konsumen yang bersih, gaji yang besar dengan fasilitas kerja yang cukup. Namun pada kenyataannya, mereka yang memilih pendidikan perawat atau bidan dan setelah lulus bertugas dalam imunisasi, mereka akan mendapatkan hal yang sama sekali tidak diharapkan oleh orang-orang (orang muda) saat ini. Mereka akan dihadapkan kepada konsomen yang belum tentu bersih, mereka berhadapan langsung dengan hal-hal yang orang-orang menghindarinya seperti : urine, feses (kotoran), dahak, nanah, kuman, bau, ledir, darah, dsb, ditambah lagi dengan gaji dibawah upah buruh (upah minimum), fasilitas yang relative memprihatinkan untuk seorang gadis (wanita), yang kebanyakan hidup sendiri.
Dalam memberikan pelayanan imunisasi; sebagai manusia normal, pastilah bidan dan perawat tidak akan sanggup memberkan pelayanan ini sesuai dengan harapan. Sebagai manusia biasa, bidan dan perawat yang memberikan pelayanan imunisasi memerlukan gaji yang sesuai, alat kerja yang memadai, alat transportasi, tempat tinggak dukungan social dan sebagainya. Mereka juga seperti generasi lainnya yang ingin jauh dari kotoran, nanah, bau, kuman dan lain-lain yang tidak menyenangkan itu. Namun kenyataannya mereka telah dengan sengaja atau tidak sengaja mereka telah menjadi seorang bidan atai perawat yang mendapat tugas memberikan pelayanan imunisasi. Status sebagai manusia biasa membuat kawan-kawan bidan dan perawat tidak mampu memberikan pelayanan ini dengan baik sesuai harapan, dan kita tidak perlu mencari ini salah siapa.
Untuk kawan-kawan bidan atau perawat yang memberikan pelayanan imunisasi, khususnya di desa; bahwa sumpah yang kita ucapkan pada waktu pelantikan, membuat kita tidak lagi menjadi manusia biasa. Karena sesungguhnya sumpah yang kita ucapkan itu tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa ( kebanyakan). Karena sumpah itu menuntut pengabdian seutuhnya, keikhlasan yang tulus, dan semangat kerja pantang mundur untuk mencapai tujuan.
Manusia setengah malaikat ; hanya itu pilihan. Jadilah manusia setengah malaikat, yang senantiasa diwajahnya terpancar wajah malaikat pada saat bayi dan orangtuanya memandangnya. Wajah seperti malaikat, perasaan seperti malaikat, pikiran seperti malaikat, raganya yang manusia biasa. Hanya keadaan seperti ini yang membuat kita tidak pernah kehabisan tenaga dan akal dalam memastikan semua bayi mendapat imunisasi dasar lengkap. Bila seorang bayi meninggal karena imunisasinya tidak berkualitas, kita akan sangat menyesal, dan wajah malaikat kita akan berubah menjadi wajah pencabut nyawa yang sangat mengerikan.
Dan hanya wajah seperti malaikat yang mendapat tempat disurga, sedangkan wajah pencabut nyawa yang sangat mengerikan itu akan mendapat tempat di Neraka..dan kita akan memilih menjadi :
Senin, 26 Oktober 2009
Melayani padahal dilayani (refleksi kunjungan Bapa GKPS Simalingkar dalam pesta 100 tahun GKPS NagaSaribu)
Serasa Melayani Padhal Sedang Dilayani (Kutipan Nasehat Temanku : Ibu Iik )
Senin, 14 September 2009
Sumpah Janji Yang Mengikat Dunia Akhirat
1. Saya tidak akan membeda-bedakan klien berdasarkan agama, sosial, ekonomi,.....
2. Saya akan meningkatkan mutu pekerjaan saya....
3. Saya akan bekerja dengan se teliti-telitinya...
4. Saya tidak akan menceritakan rahasia pasien, kecuali diminta pengadilan untuk kesaksian..
5. Saya akan bekerjasama dengan tim kesehatan lain.....
Sumpah ini mengikat dan berjanji sesuai dengan agama, sehingga ini akan senantiasa melekat pada setiap Perawat dan Bidan (baca : petugas ) manakala melakukan tugas profesinya kepada pasien.
Selasa, 21 Juli 2009
SEMAKIN GERSANG SAJA
Rabu, 24 Juni 2009
Seratusan Juta Sehari
Rangkaian HUT XXI itu membuat hati gembira dan menjadi obat, membuat hati terbuka dan menjadi kekuatan serta membuat hati tulus menjadi kekayaan. Itulah tugas yang baru diselesaikan panitia dalam waktu sekitar 6 (enam) minggu menjelang pesta HUT XXI sekaligus Pembangunan Rumah Tuhan itu. Pada waktu yang sekira 6 minggu ini semua warga jemaat diharapkan bergembira, terbuka hatinya dan tulus ikhlas dalam memberi, dan pada akhirnya diharapkan terkumpul uang 150 (seratus limapuluh juta) pada hari H tanggal 14 Juni 2009. Warga jemaat sebagai sasaran utama berjumlah 170 (seratus tujuh puluh) kepala keluarga (KK). Dengan menggunakan hitungan sama rata – sama rasa maka dengan mudah 150.000.000/170 = …dengan mudah diperoleh angka per KK. Alangkah mudahnya mengerjakan ini, dan setelah diperoleh tinggal buat surat keputusan, bagikankepada warga jemaat, dan dorong mereka membayarnya. Di jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS ) Simalingkar Medan, pilihan diatas tidak diambil. Pilihan yang dilakukan adalah metode yang sangat mendasar dan dikerjakan hampir disemua kegiatan pada seluruh lapisan masyarakat. Dibentuklah panitia, dibuat program kerja, dilakukan sosialisasi dan dilakukan pengumpulan dana. Ini adalah hal yang biasa, dan sudah dikerjakan banyak organisasi dimanapun. Tetapi kegiatan selama 6 (enam) minggu di jemaat itu terasa luar biasa. Dan betul-betul luar biasa. Pimpinan jemaat memberikan target kepada panitia agar dalam kegiatan ini dapat mengumpulkan dana 150 juta untuk keperluan rumah pembangunan rumah ibadah dan mendukung kegiatan operasional. Pada rapat pertama terasa kental sekali aroma 150 juta yang harus diperoleh itu dengan usaha 170 kepala keluarga, yang dimotori oleh panitia. Sangat terasa aroma keraguan, terasa berat sekali beban target ini, terasa buntu jalan ini, terasa harga diri panitia dipertaruhkan dan akan mendapat malu jika gagal, terasa sulit memilih metode. Doa – doa selalu dipanjatkan pada setiap rapat dan pertemuan, nyanyi – nyanyian puji-pujian juga dikumandangkan, wajah – wajah percaya diri juga tetap dijaga. Namun tiada juga terasa getaran – getaran, bahkan getaran-getraran energi – energi yang bergerak berlawanan mulai terasa hawanya. Dan akhirnya pasrah, berserah, dan menunggu. Kami panitia hanya menunggu dariMu Tuhan; bagaimana ini…apa yang harus kami lakukan…bagaimana kami mengelola ini dan itu…apakah kali ini kami akan mendapat malu…dan getaran-getaran itupun terasa, ide-ide pun muncul. Roh kudus bekerja pada saat orang sudah seperti hanyut disungai dan tak berdaya lagi, sehingga pertolongan menjadi mulus. Kegiatan pertama adalah mengadakan : 1. camp sekolah minggu dan remaja untuk kelas III SD ke atas, 2. Malam puji-pujian dan kesaksian, 3. Pastoral untuk warga jemaat, 4. Permainan olah raga per sektor juga perorangan. Camp sekolah minggu remaja membuat semua mereka bergembira dan mendapat pengalaman baru. Kunjungan pastoral jemaat membuat jemaat dan majelis saling mendukung dan menyadari betapa Tuhan adalah sumber Kehidupan, air mata yang keluar pada saat kunjungan itu tidak mengalir dengan sendirinya, tetapi merupakan rangkaian energi yang bergerak dari pikiran, perasaan lalu memberi rangsangan kepada logika, dan memberi sensasi pada seluruh kulit, detakan lain pada jantung, dan tanpa sadar kelenjar mata dipacu, dan air mata keluar tanpa tangisan. Pastoral, mengajak orang-orang untuk merasakan Kehidupan dari Tuhan, membuat jemaat-jemaat itu menangis dalam kegembiraannya. Pada malam puji-pujian dan kesaksian itu, suara nyanyian menusuk jauh ke otot jantung dan merangsang nadi lebih cepat, sebagian menggelengkan kepada karena tak percaya bahwa ada lagu seindah ini. Kesaksian warga jemaat membuat seluruh bulu kuduk berdiri, karena hanyut dalam keadaan nyata, dimana Kekuatan Roh Kudus yang berdiam pada jemaat itu mengalahkan kekuatan jahat yang bertahun-tahun mengganggu dan menguasai ibu dalam keluarga mereka. Kegiatan olah raga itu membuat jemaat mendapat semangat, fanatisme, jati diri dan pada akhir permainan mendapat banyak teman untuk sama-sama bermain. Pertandingan bola kaki itu…wah sungguh mengagumkan, kegembiraan, kekompakan, kepedulian ada disitu. Tak tahu siapa yang menyiapkan jus itu, tiba-tiba sudah siap diminum, dan gol-gol itu menjadi kegembiraan kedua kesebelasan. Keadaan ini tak ada pada sepak bola yang sesungguhnya, ini bukan sepak bola biasa…dan akhirnya tanggal 14 Juni itupun tiba juga…pukul 09.00 WIB panitia sudah berpakaian adat Simalungun dikepala ( laki-laki memakai gotong dan wanita memakai bulang ) serta memakai selendang yang disebut suri-suri. Ah…mantap sekali penampilan kali ini. Prosesi dimulai dari rumah salah satu jemaat (Klg St. Rajoki Purba) dipimpin oleh Sekjen GKPS, diikuti pimpinan majelis, dan panitia. Yang juga luar biasa adalah beberapa warga beragama bukan Kristen ikut prosesi. Lagu berirama Simalungun sangat enak untuk menari, dan prosesi pun disambut dengan kelompok penari dari para ibu dan dipagari oleh anak sekolah minggu dengan Gerakan khas Simalungun gaya anak-anak. Anak saya yang 4 tahun (Ganesta Diego) “mangondok” yaitu gerakan menekuk lutut hingga membungkukkan seluruh badannya dan pinggangnya kebelakang..tulus sekali tarian itu nak…dan para pemusik itu tidak ada lelah walaupun terlambat terus tidur pada hari-hari belakangan ini. Kebaktian berjalan dengan riang dan kadang–kadang sangat hening, tetapi langkah-langkah panitia ada juga sesekali. Sejarah Gereja pun dibacakan, dan perjuangan untuk beribadah ditempat yang layakpun ternyata susah juga di Negeri ini, dari dulu sekarang dan mungkin sampai selamanya. Hanya kerinduan-kerinduan memuji Tuhan bersama-sama yang pasti memerlukan gedung , yang membuat anggota jemaat pertama itu ( yang dimotori Klg Juniansen Sipayung ) terus berjuang dengan sabar dan sabar. Karena perjuangan lokasi saja, sesungguhnya membuat parang panjang dari orang yang menganggap lahan itu bukan untuk GKPS hampir ikut ambil bagian. Tapi itu tinggal kenangan manis dalam sejarah Gereja ini. Pada hari H itu Semua anggota jemaat dan undangan yang hadir naik keatas podium bergiliran, termasuk saudara-saudara yang bukan bergereja di GKPS Simalingkar, bahkan undangan yang bukan beragama Kristen itu pun naik ke Podium. Semua warga mendapat satu kain adat Simalungun diatas podium, dan semua memberikan partisipasi memberi sejumlah uang untuk membangun gereja ini. Lagu-lagu mengiringi pemberian kain Simalungun itu sungguh ditata dengan sempurna yang di pandu oleh seorang sarjana seni warga GKPS Simalingkar (John Maren Girsang). Lucky draw secara selang-seling diberikan, dan senang sekali yang mendapat minuman ringan, kipas angin hingga minicompo. Hingga sekitar pukul 16.00, telah terkumpul uang 152 ( seratus limapuluh dua ) juta rupiah. Acara terus berlangsung dengan nyanyian-nyanyian dan tarian, dan pukul 17.00 acara ditutup dengan Doa. Pada malam hari bendahara masih memvalidasi jumlah uang yang terkumpul, dan sekitar pukul 23.00 WIB, jumlah uang yang terkumpul 160 (seratus enampuluh ) juta rupiah. Hanya karena hati orang bergembira, terbuka dan tulus, sehingga semua jemaat memberi melebihi apa yang diperkirakan sebelumnya….karena jalanKu bukanlah jalanmu dan pikiranKu bukanlah pikiranmu, keputusan Tuhan tidak pernah terpikirkan. Ya Tuhan..sudah Engkau izinkan kami bersekutu di Gereja ini, Engkau izinkan kami kumpulkan uang ini lebih dari yang kami khawatirkan, dan izinkanlah kami gunakan ini lebih baiki dari apa yang kami persiapkan sebelumnya…Amin.
Minggu, 31 Mei 2009
Ternyata Bisa
Kegembiraan Pada Anak
Nilai - Nilai Terpelihara
Sebenarnya yang saya harapkan itu, dan yang sudah disosialisasikan ke orangbanyak itu begini :
1. Awali dengan sosialisasi, pastikan suasana menccair. Bisa dilakukan dengan Perkenalan seluruh yang ada diruangan; khusus peserta dapat menyampaikan keunggulan-keunggulannya. Sementara orang lain menanggapi dan memnyampaikan pujiannya / tanggapannya kepada temannya tadi. Suasana dicairkan dengan memastikan setiap anggota saling membutuhkan, atau tidak ada peluang untuk memilih-milih teman. Misalnya dengan membuat kelompok-kelompok kecil yang dibagi secara mendadak, dengan memutar lagu atau apa saja.
2. Facilitator menyampaikan : bahwa setiap orang mempunyai banyak hal yang dipelihara dalam hidupnya sehari-hari, dan itu disebut dengan nilai-nilai pribadi. Tetapi tim sudah memilih 7 nilai yang biasanya dipelihara seseorang dalam hidupnya. Dan peserta diberi kesempatan memilih salah satu dari 7 nilai tersebut sebagai nilai-nilai yang paling sering dipelihara setiap hari.
3. Peserta yang nilainya sama dapat digabung menjadi kelompok; mereka menceritakan pengertian dan contoh-contoh nilai yang mereka pegang, alasannya dan pengalaman-pengalamana=nya.
Sabtu, 21 Maret 2009
Ajaib Benar
Rabu, 18 Maret 2009
Remaja adalah Kita waktu nanti
Pendidikan tiga puluh remaja itu mulai SMP - SMA, dan sudah mencakup hampir semua remaja dari keluarga GKPS Simalingkar. Mereka sangat beruntung mendapat kesempatan seperti ini, karena malam hari nya mereka bisa merasakan betapa kita perlu tekun untuk hal-hal yang disukai Allah, seperti berpuasa perasaan. Karena yang keluar dari mulut berasal dari hati / perasaan, maka puasa pada acara ini adalah puasa bicara. Seluruh peserta harus menjaga bicaranya, sehingga tidak ada keluar ucapan yang tidak disukai Tuhan...bersambung...
Ini mimpi saya
Menjadi seperti sekarang seperti mimpi saja, lahir di desa Sarangpunei, kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Besar dalam keluarga petani kecil dengan 6 saudara. Masa kecil dilewati dengan kehidupan didesa yang yang bukan seperti desa sekarang ini. Listrik di desa saya baru ada setelah saya berumur 27 tahun, sedangkan air baru ada pada saat tulisan ini mulai dibuat (umur 40 tahun). Masa balita hampir seluruhnya bersama oppung dan tua ( sebutan untuk orang tua laki-laki dan perempuan dari bapak ). Oppung saya Djaukur Saragih senantiasa ada untuk saya mulai bangun hingga tidur. Sepertinya hanya waktu tidur saya dirumah orangtua yang kebetulan bersebelahan dengan rumah oppung saya yang masih rumah panggung beratap ijuk. Pagi-pagi sebelum oppung bangun, saya sudah menunggu ditangga rumahnya atau dibawah jendela untuk bersama-sama dengannya ke kedai kopi milik oppung Jami Sinaga. Biasanya menu rutinnya adalah tehmanis, pulut dengan kelapa, goreng pisang atau kombinasinya. Setelah dari kedai, pergi kesawah bersama Tua. Disawah bersama oppung dan tua sepanjang hari adalah pelajaran besar. Memasak nasi yang malamnya padinya ditumbuk dilumpang kayu oleh tua, amboru (saudara perempuan ayah) paling bungsu, yang kami panggil Po Sinta (bou Sinta), tentu dengan saya ada disitu. Nasi dimasak dibawah gubuk panggung, yang warnanya kemerahan bila kebetulan beras merah, wanginya sangat khas. Bau nasi dari padi yang beberapa bulan waktu sebelumnya padinya masih tumbuh disawah dan tanah miring ditas sawah yang sekarang kami ada disitu. Lauk-pauk tentu lengkap setiap hari; bahan sayur lengkap disekeliling sawah, bumbunya lengkap diseliling gubuk, ikannya asli dari kolam; kadang lele, gabus, sepat, atau ikan-ikan kecil,yang semuanya dimasak rebus. Kadang dengan santan, tapi yang pasti selalu menggunakan kunyit yang agak banyak. Ikan yang kami makan biasanya hasil pancing yang dipasang sore hari sebelum kami meninggalkan sawah. Memeriksa berapa pancing pada pagi harinya adalah kegemaran saya, kadang bila ikannya agak besar atau terbelit keranting kayu, saya minta tolong oppung atau tulang (anak laki-laki dari saudara laki-lakinya tua ) namanya Kaliamsah Sinaga, yang kadang ikut juga kesawah (bolos sekolah). Hampir setiap pagi saya mendapat ikan dari pancing-pancing itu, bila kebetulan tidak ada ikan, maka tua menggunakan jaring yang kami sebut namanya durung untuk menangkap ikan-ikan kecil (silo-silo) dan juga kecebong atau siput sawah sebagai lauk ikan siang hari. Apapun ikannya, dengan bumbu yang diracik oleh tua, rasanya tetap luar biasa. Biasanya saya tidur setelah capek memeriksa pancing, memasang umpan yang biasanya cacing atau belalang, bermain sebentar diair sawah yang agak dalam. Bangun tidur bersamaan dengan masaknya semua menu makan siang: nasi yang tadi malam masih berwujud padi, sayur yang pagi tadi masih dipokoknya, bumbu yang tadi pagi masih tertanam disekitar gubuk, dan ikan yang baru tadi pagi kami ambil dari kolam atau parit disekitar sawah. Semuanya sudah tersaji dalam piring dan mangkuk yang terpisah untuk saya dan tua juga tulang kalau ia ada. Satu paket makan siang dipisahkan untuk Oppung, karena biasanya saya makan lebih awal dengan Tua, mungkin karena Tua tahu saya tidak boleh terlambat makan. Jadi jam makan saya hampir sama setiap hari, walaupun Tua dan saya tidak punya jam. Oppung sering sekali makan belakangan karena sedang diladang, disawah atau sedang di hutan belantara disekitar persawahan untuk mengambil kayubakar atau tali. Setelah makan siang, saya bermain sebentar dikolong pondok, atau diparit-parit yang airnya mengalir dari bukit-bukit, lalu tidur siang diatas pondok. Tua baru turun kesawah atau ladang bila saya suidah tertidur. Tidur diatas pondok disekeliling sawah, ladang, hutan yang masih sangat lebat, dengan kicauan burung, serangga hutan, kadang siamang, disempurnakan dengan suara gesekan daun dan ranting akibat hembusan angin, benar-benar sebuah symponi yang dashyat, karena ditata sempurna oleh Allah pencipta. Mengenang itu semua seperti sebuah mimpi yang entah dimana sekarang ini ditemukan dalam bentuk nyata. Bangun dari tidur siang, badan sangat segar, saya langsung turun kesawah yang mirip kolam ikan dan memang didalamnya banyak ikan, dan ikan itu sendiri benar-benar datang dari Allah, karena Oppung dan Tua tak pernah menyemai bibitnya. Saya memeriksa pancing yang tadi pagi dipasang cacing atau belalang dan kadang ulat untuk umpannnya. Bila tali pancingnya tegang, jantung jadi deg - degan penuh tanda tanya ikan apa gerangan, sebesar apa..dan sering kali talinya sudah terlilit diranting pohon atau batang padi, dan ini butuh bantuan Oppung atau tulang bila sedang ada. Yang paling sering terkena pancing adalah ikan lele dan gabus. Ikan gabus ukurannya bisa sangat besar, sebesar betis orang dewasa. Ikan ini cukup kuat, bisa bergerak cepat diatas lumpur seperti mobil F1 diarena balap. Bila ada ikan yang dapat, dibawa kekampung sebagai menu makan malam di rumah orangtua saya, karena pada malam saya hampir selalu tidur dirumah orangtua, sesekali dirumah oppung. Setelah makan malam, akan terdengar bunyi lumpang dan alu, karena tua dan bou paling bungsu (Sinta ) menumbuk padi untuk dimasak pada esok hari. Saya akan berjongkok disamping lumpang dan tidak tahu apa gunanya saya ada disitu, dan itu berlangsung hampir setiap malam. Suatu waktu pada saat menumbuk padi pada malam hari, kami mendengar ada suara gendang yang berasal dari sekitar kebun cengkeh tepat didepan rumah kami sekarang. Memang disitu dulu ada satu batang cengkeh yang sangat besar, lebih besar dari batang pohon cengkeh yang lain. Anehnya pada saat padi ditumbuk lebih cepat, suara itu semakin kuat, dan pada saat menumbuk padanya lebih lambat suara gendang itu juga semakin pelan dan suara itu juga hilang bila menumbuk padinya dihentikan. Waktu itu tidak ada pikiran lain selain ada mahluk halus yang berpesta disekitaran kebun cengekh itu, dan mereka terganggu karena masih ada yang ribut menjelang tengah malam dengan menumbuk padi. Kepolosan Tua waktu itu langsung saja menghentikan menumbuk padai di halaman samping belakang rumahnya itu dan pindah ke atas rumah panggung untuk membersihakan beras padi yang sudah selesai ditumbuk. Hal ini hanya terjadi satu kali karena selanjutnya kami tidak pernah lagi menumbuk pada pada malam hari. Demikianlah kebutuhan beras dipenuhi, dengan mengambil padi dari lumbung yang tidak pernah kosong dari tahun ke tahun, memisahkan padinya dari tangkainya (disebut mardogei ; memijak-mijak tangkai padi sampai bulirnya terelepas, menjemurnya dan menumbuknya hingga kulitnya terlepas. Proses menumbuk itu sendiri menghasilkan beras yang utuh dan beras yang patah-patah, bahkan ada yang menjadi butiran kecil yang disebut 'suyu'. Suyu ini mejadi menu sarapan dicampur dengan ubi kayu muda dan kelapa. Rasanya sangat lezat, apalagi dimakan pada waktu hangat. Sebenarnya menambah ubi dan kelapa kedalam suyu itu adalah untuk menambah jumlah, supaya cukup untuk dibagi. Tapi ternyata disamping itu, karbohidrat yang banyak menyebabkan orang yang mengkonsumsinya mempunyai banyak energi utnuk bekerja diladang. Nasi dari beras tumbuk itu sangatlah lezat rasanya, disamping harum dan lembut, terlebih lagi tempa nasinya adalah bakul yang dianyam sendiri oleh tua, dengan bahan baku 'boyon' yang banyak tumbuh dirawa-rawa disekita sawah. Nasi yang dimasukkan kedalam bakul ini menghasilkan harum yang alami, dan menambah selera makan. Padi itu ditanam pada tanah miring di perladangan 'paritokan' yang ditempuh sekitar 1 jam berjalan kaki dari trumah tua, melewati jalan tanah curam bertangga. Dan dibawah tanah miring itu adalah sawah yang didalamnya juga sekaligus banyak ikan besar seperti gabus dan lele; ikan kecil seperti sepat dan sili-silo (semacam ikan paret yang senang bergerombol) dan juga boyok/kecebong serta siput. Pada saat tidak mendapat ikan, menu yang paling mudah didapat adalah kecebong dan siput. Kedua menu ini dengan menggunakan bumbu disekitar gubuk (yang pasti banyak kunyitnya) lezatnya bukan main. Kalau kecebong yang dimasak, maka kecebongnya akan meyatu dengan bumbunya, tapi masih terasa semacam rasa ikannya. Tetapi kalau siput yang dimasak, ada bagian kenyal dan lembut pada setiap siputnya. Mungkin ini yang membuat seolah-olah aku merasa cukup gizi pada waktu itu, sementara kehidupan ekonomi begitu sulitnya. Demikianlah hidup berlalu, setiap hari peuh dengan kenyamanan; ada makan pagi dengan pulut atau goreng di kedai atau suyu dan ubi muda plus kelapa dirumah panggung Oppung, lalu kesawah untuk melihat pancing yang sore kemarin sudah dipasang umpannya tentu sambil bermain air, tidur siang sebelum masakan tua siap untuk makan siang, dan pulang lagi kekampung untuk tidur bersama orangtua. Dan waktu yang yang tak terlupakan itu tiba; kami beberapa cucu Tua (tidak ingat berapa orang) sedang makan pagi dengan posisi melingkar didapur rumah panggung, dengan bou Sinta pada pesta pernikahan 'Po Senda' pada hari itu. Kami semua anak-anak dan Tua makan dengan lahap, dan Po Sinta melayani kami semuanya. Tua meminta kuah kepada Po Sinta dan diberikan, dan pada saat menyuapkan nasi (memang tua terbiasa memasukkan nasi kemulutnya dengan setengah melempar) Tua tersedak dan tidak ada pertolongan berarti, sampai ia menghembuskan nafasnya tidak berapa lama. Gendang pengantin yang waktu itu sudah mulai bunyi dengan sound sitem TOA, langsung berhenti sementara, sedangkan acara pesta pernikahan dipindahkan kerumah keluarga 'Kela Salem Damanik /Kela Senda. Lalu gendang dirumah Oppung tetap saja dipalu, tetapi dengan irama duka "khas nya untuk yang meninggal". Tidak ada terasa apa-apa dalam acara-demi acara itu, kami anak-anak balita hanya bingung dengan banyaknya orang datang, bahkan saya merasa kagum dengan mereka yang mempersiapkan peti untuk Tua. Mereka mengetam papan sampai halus, lalu dibuat peti berlapis kain hitam dan benah putih sebagai ornamennya. Pada saat penguburan, saya berjalan dibarisan tengah orang ramai itu, sayang sekali saya tidak bisa melihat bagaimana peti itu diturunkan dan ditimbun untuk selamanya. Beberapa hari setelahnya baru tereasa benar bahwa Tua sudah tidak ada. Itu berarti akan banyak hal yang hilang dan ternyata benar-benar hilang. Acara menumbuk padai sudah tidak kuikuti lagi, acara kesawah sudah tidak rutin, tidak ada lagi memasak nasi dan ikan disawah, tidak ada lagi yang membanguniku untuk makan siang dan menyantap masakan yang kunyitnya banyak itu. Tak berapa lama, oppung pun muai sakit-sakitan, dan makannya pun berpindah-pindah; kadang dirumah kami, kadang dirumah "Gian Boksen". Sepanjang malam Oppung selalu batuk, hingga pagi harinya dibawah jendelanya penuh dengan dahak. Memang Oppung adalah perokok 'daun dan tembakau asli" dan sering memakan abunya. Kami juga anak-anak sering mencobanya, rasanya nggak jelas, tapi memang agak-agak gurih. Mungkin itu yang membuat Oppung ketagihan memakan abu rokok daunnya. Dan seperti biasanya setiap pagi aku setia menunggunya dibawah tangga rumah panggungnya untuk sarapan ke kedai. Oppung ini sendiri adalah orang luar biasa, sepanjang yang kutau tidak orang yang tidak suka sama Oppung ini, paling tidak, tidak ada musuhnya. Hingga pada akhir hayatnya pada usia 80 tahun, dan waktu itu saya SMA kelas 1 di SMA PAhlawan TebingTinggi (45 km dari kampung). Hanya kenangan manis yang ditinggalkan Oppung demikian juga Tua. Pada acara penguburan Oppung ini, hatiku sedih sekali, bukankah selalu ada sukacita pada saat liburan dan ada yang selalu memberi uang tatkala akan kembali ke TebingTinggi. Dan sepeninggal Oppung ini, tak berapa lama, harta warisan dibagi kepada anak-anaknya. Waktu itu Oppung Jamil Sinaga ( Tondong) dari Negeri Dolok memberikan nasehat kepada anak-anak Oppung, terutama kepada Bapak dan Gian Boksen. Oppung itu berkata : "walaupun banyak buah durian itu nanti, kami tidak akan minta, tapi kalau ingin kalian kami cicipi rasanya, ya terima kasih / agepe bahat holi buah ni durian ai, lang ipindo hanami, tapi anggo sihol nasiam idai hanmi, tarimakasih". Memang Oppung sangat bijaksana, mungkin karena pensiunan kepala sekolah. Ternyata sekarang apa yang diucapkannya dulu masih relevan, bahwa harta warisan haruslah menjadi perekat persaudaraaan yang secara alami semakin renggang dengan bertambahnya anggota keluarga. Dan harta warisan ini ternyata tidak boleh dianggap hak milik, dan sudah seharusnya bila hasilnya selalu diberi kepada Tulang (saudara laki-laki ibu) untuk sekedar mengingatkan kita bahwa harta itu adalah harta orang tua kita dan Tulang sebagai saksi dalam pembagian waktu itu. Kalau Oppung dan Tua hidup sekarang, betapa senangnya dia mendengar cerita-cerita perjalan hidupku, dalam suka dan duka. Ingat 'paritokan' tempat ku ditempa dan sekarang tulisan ini diselesaikan di Timor Leste, pada saat menjadi konsultan di UNICEF; betul-betul seperti mimpi. Dan entah bagaimana caranya menunjukkan 'paritokan kepada anak-anak ku Fika, Cici dan Ganesta, kita lihat nanti.