Kamis, 24 Juni 2010

Berubah bila menghadap resiko

Karena setiap orang berharap tidak mendapat resiko dari pilihannya pun dari aktifitasnya, karena resiko berarti sesuatu yang merugikan yang dapat terjadi diluar perhitungan maupun yang sudah diperhitungkan. Dan tidak ada satu manusia di dunia ini yang tidak tertarik pada saat kita membicarakan resiko. Misalnya bila anak tidak di imunisasi BCG, maka dia beresiko lebih besar tertular penyakit TBC dibanding dengan bayi yang mendapat vaksin BCG. Anak yang malas belajar, beresiko tidak naik kelas, anak yang tidak naik, dan sebagainya.
Lihatlah betapa susahnya kita mengajak masyarakat banyak untuk mengurus mereka sendiri, terutama tentang kesehatan. Betapa susahnya untuk mengajak mereka ke Pos Yandu agar anak mereka mendapat imunisasi sehingga bias mempunyai kekebalan terhadap tujuh penyakit menular dan berbahaya, yitu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I); Hepatitis B, TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan campak. Seolah-olah kebutuhan vaksinasi anaknya itu dianggap kebutuhan petugas kesehatan. Tetapi apa yang terjadi bila suatu saat banyak anak yang menderita penyakit menular ( PD3I) tadi yang sering kita kenal dengan wabah (our break) maka masyarakat beramai-ramai menyalahkan petugas kesehatan. Apakah itu salah petugas kesehatan ?. Paling tidak, petugas kesehatan belum maksimal dalam upaya-upaya pendidikan kesehatan dan mobilisasi masyarakat, sehingga masyarakat tidak merasa berhadapan dengan resiko walaupun perilakunya memperbesar resiko tertular penyakit dan menjadi penular penyakit.
Menghadapkan orang pada resiko akan membuat orang bergerak, dikarenakan orang takut menghadapi resiko, terutama dua resiko ( kesakitan dan kematian ). Andai kita berhasil membuat seolah-olah masyarakat akan berhadapan dengan resiko sakit dan resiko mati bila dia tidak melakukan perilau tertentu, mungkin akan semakin banyak masyarakat yang bergerak dari posisi tidak berperilaku mendukung kesehatan menjadi pendukung kegiatan kesehatan. Semoga..dan tetap semangat..!!